Selasa, 08 Oktober 2019

Sejarah Islam di Cirebon

SEJARAH ISLAM DI CIREBON

    Di masa lalu, Cirebon merupakan kota pantai yang sarat dengan aktivitas perdagangan. Letaknya pun strategis sehingga Cirebon juga menjadi kota pelabuhan alternatif terpenting di pantai utara Jawa setelah Jakarta dan Semarang.
    Banyak kapal berlabuh di pelabuhan Cirebon untuk melakukan perniagaan atau sekedar singgah. Kapal-kapal tersebut berasal dari daerah lain di nusantara, Cina, Arab, Persia, dan lain sebagainya.
    Peneliti manuskrip Nusantara, Mahrus menjelaskan, berdasarkan manuskrip-manuskrip Cirebon, diketahui kota ini sudah sejak dulu bersifat multikultural. Hal itu dimungkinkan karena Cirebon memiliki Pelabuhan Muara Jati yang kerap disinggahi orang-orang Cina, Arab, Persia, dan lainnya.
    Karena lokasi Cirebon yang strategis, wilayah tersebut menjadi tempat bertemunya orang-orang dari beragam latar belakang, tak terkecuali orang-orang yang berperan penting dalam perkembangan agama Islam di wilayah tersebut.

      Mengenai perkembangan Islam di wilayah Cirebon, hal itu tak lepas dari peran Pangeran Cakrabuana yang dikenal oleh masyarakat Jawa Barat bernama Ebah Kuwu Sangkan atau Pangeran Walang Sungsang.
    Pangeran Cakrabuana bersama adiknya Rara Santang belajar Islam kepada Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nur Jati di Cirebon. Rara Santang adalah ibu dari Syekh Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
   Sebelum era Wali Songo, Mahrus menerangkan, sebenarnya Islam sudah ada di beberapa daerah nusantara. Di tatar Sunda atau Jawa Barat juga sudah ada orang-orang yang memeluk agama Islam.
"Tapi, ada yang mengamalkan ajaran Islam dengan sembunyi-sembunyi, ada juga yang secara terang-terangan," kata Mahrus saat diwawancarai Republika di Bogor, belum lama ini.
    Mahrus mengungkapkan, begitu Cirebon memerdekakan diri dari Kerajaan Sunda, orang-orang Islam mulai berkumpul dan menampakkan diri secara perlahan. Kemudian, Cirebon menjadi tempat kumpul dan tempat belajar agama Islam yang terbuka bagi siapa saja.
     Berdasarkan manuskrip-manuskrip Cirebon, diperkirakan Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah multikultur sejak sebelum era Syekh Syarif Hidayatullah. Sebab, pada masa Syekh Syarif Hidayatullah, Cirebon sudah ramai sekali. Dalam sebuah manuskrip, pelabuhan Cirebon disebut sebagai bagian dari Jalur Sutra.
"Zaman Pangeran Cakrabuana, Cirebon sudah ramai, lebih ramai lagi pada zaman Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah), memang menurut saya puncak kejayaan Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati," ujar Mahrus.

      Setelah Islam di Cirebon mencapai puncak kejayaannya pada masa Syekh Syarif Hidayatullah, selanjutnya Kesultanan Cirebon dan penyebaran Islam diteruskan oleh anak keturunan dan murid-murid Syekh Syarif Hidayatullah.
     Murid dan anak Syekh Syarif Hidayatullah ada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Lampung. Bahkan, menurut Mahrus, ada ulama di Sulawesi yang mengaku berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah, tapi hal tersebut masih ditelusuri kebenarannya.
     Masa kejayaan Kesultanan Cirebon di era Syekh Syarif Hidayatullah menyisakan sejumlah peninggalan. Di antaranya berupa bangunan masjid, keraton, dan pelabuhan Cirebon yang semakin ramai.
Menurut Mahrus, ada beberapa bangunan masjid yang dibangun pada masa Syekh Syarif Hidayatullah. Di antaranya Masjid Merah Panjunan dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Menurut salah seorang takmir masjid, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun sesudah Masjid Merah Panjunan, yaitu sekitar tahun 1480.
Setelah Syekh Syarif Hidayatullah menikah dengan Pakungwati, dimulailah pembangunan alun-alun dan istana yang terkenal dengan nama Istana Pakungwati. Di istana inilah, Syekh Syarif Hidayatullah dan Pakungwati bertempat tinggal.
Pusat Kesultanan Cirebon berada di Keraton Pakungwati sekarang berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan. "Di istana itulah Syekh Syarif Hidayatullah memulai, membangun, dan mengembangkan Kesultanan Cirebon sampai dengan pengunduran dirinya,'' kata Mahrus.

Penulis
Irgi gumelang

Senin, 07 Oktober 2019

Biografi Buya yahya

               BIOGRAFI BUYA YAHYA

      Buya Yahya merupakan salah satu tokoh ulama muda yang sangat terkenal terutama di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Sebetulnya nama asli beliau adalah Kiai Haji Yahya Zainul Maarif namun lebih terkenal dengan sapaan Buya Yahya. Sosok Buya Yahya memang begitu menarik perhatian di kalangan umat Islam tanah air karena beliau dikenal sebagai ulama muda yang tinggi keilmuannya. Selain itu, Buya Yahya juga merupakan ajeungan sekaligus pengelola ma’had (Pondok Pesantren) Al-Bahjah Cirebon. Dibalik sosok Buya Yahya yang begitu populer ternyata beliau memiliki perjalanan hidup yang menarik untuk disimak yang terangkum dalam biografi Buya Yahya berikut ini.

Profil Biografi Buya Yahya

Sosok Buya Yahya yang begitu populer di wilayah Jawa Barat mungkin banyak yang mengira bahwa beliua lahir di Jawa Barat. Namun siapa sangka beliua justru lahir di wilayah Jawa Timur. Ustad Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya lahir pada tanggal 10 Agustus 1973 di Kabupaten Blitar. Buya Yahya merupakan putra dari Mbah Jamzuri atau yang akrab disapa Mbah Kakung. Sejak kecil ayah beliau mendidik sedangkan sang ibu yang akrab disapa dengan Mbah Uti yang paling banyak memberikan Tarbiyah. Dengan demikian tak heran bila kini sosok Buya Yahya menjadi sosok besar pemersatu umat. Buya Yahya memiliki seorang istri bernama Fairuz ar-Rohbini dan dari pernikahannya tersebut beliau dikaruniai 4 orang anak.


www.pexels.com

Riwayat Pendidikan Buya Yahya

Beliau menempuh pendidikan Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Pertama di Blitar sambil mengikuti Madrasah Diniyah yang diasuh oleh KH. Imron Mahbub. Pada tahun 1988 sampai 1993, Buya Yahya kembali melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah di Bangil. Kala itu pesantren tersebut diasuh oleh Habib Hasan bin Ahmad Baharun.
Pada tahun 1993 sampai 1996, Buya Yahya pernah mengajar di Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah Bangil.Namun di tahun 1996 Buya Yahya berangkat ke Universitas Al Ahgaff Yaman atas perintah dari Habib Hasan Bin Ahmad Baharun. Beliau menempuh pendidikan di Yaman selama 9 tahun atau tepatnya sampai tahun 2005. Tidak hanya menempuh pendidikan di Universitas Ahgaff, Buya Yahya juga belajar di Rubath Tarim yang diasuh oleh Habib Salim Asyasyatiri.
Ketika Buya Yahya menempuh pendidikan di Yaman, beliau memang banyak belajar mengenai ilmu fiqih dari para Mufti Hadramaut diantaranya adalah Habib Ali Masyur bin Hafid, Syekh Fadhol Bafadhol, dan Syekh Muhammad Al Khotib. Selain ilmu fiqih, beliau juga belajar mengenai ilmu hadist dari para ahli hadist diantaranya Sayyid Amad bin Husin Assegaf, Habib Salim Asysyatiri serta DR. Ismail Kadhim Al Aisawi. Selain itu Buya Yahya juga mengambil ilmu ushul fiqih dari ulama-ulama ahli. Selain belajar, Buya Yahya juga pernah mengajar di Fakultas Tarbiyah dan Dirosah Ilamiah di Universitas Ahgaff Yaman selama 3 tahun.

Awal Mula Berdakwah di Cirebon

Sesudah menghadap Al Murobbi di Yaman lalu memperoleh izin di tahun 2006, Buya Yahya mulai berdakwah dengan penuh kesabaran dan tawakkal kepada Allah SWT. Dakwah tersebut beliau mulai dari mushola ke mushola kecil dengan menjadi pengisi berbagai majelis ilmu hingga berlanjut ke majelis-majelis taklim. Bahkan kala itu beliua juga sempat hadir di Majid At-Taqwa Alun-Alun Cirebon untuk mengisi majelis ilmu.


www.pexels.com

Pada mulanya saat Buya Yahya menyampaikan majelis taklim, hanya sekitar 20 rang saja yang hadir. Tetapi lama kelamaan jumlah jamaah yang hadir semakin banyak dan memnuhi ruangan maupun halaman masjid. Selanjutnya Buya Yahya sering menghadiri majelis taklim yang ada di berbagai tempat mulai dari Kota Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, serta Jabodetabek. Bahkan beliau juga tidak pernah membatasi dalam berdakwah hanya di masjid saja. Sebab beliau juga berdakwah di toserba maupun swalayan.
Selanjutnya majelis asuhan Buya Yahya tersebut diberi nama Majelis Al-Bahjah yang juga merupakan nama pesantren yang beliau rintis. Hadirnya pesantren Al-Bahjah ini bagi Buya Yahya merupakan bagian dari upaya untuk menyampaikan dakwah Rasullulah SAW. Dipilihnya nama Al-Bahjah sebagai nama pondok pesantren juga tidak terlepas dari makna indah yang terkadang dalam nama tersebut. Sebab Al-Bahjah berarti kemilau sinar atau cahaya yang mempunyai harapa agar nantinya pesantren tersebut menjadi penerang untuk umat Nabi Muhammad SAW.
Selain berdakwah di mushola, masjid dan tempat-tempat lainnya, Buya Yahya juga pernah berjuang selama satu tahun di stasiun radio Salma 101 FM. Kala itu Buya Yahya merupakan direktur operasional radio Salma kemudian beliau mencoba menghadirkan dakwah melalui radio. Dakwah tersebut dilakukan dengan membuat program pesantren udara dengan mengisi acara radio melalui pengajian-pengajian. Selain itu saat bulan Ramadhan tiba, Buya Yahya ikut terlibat dalam media cetak dengan mengasuh rubrik tanya jawab di koran harian Radar Cirebon dan tetap aktif mengisi artikel di hari Jumat dalam Oase Iman. Beliau juga mengasuh rubrik masail diniyah di sebuah majalah Islami Al-Basyirah yang terbit di wilayah Jawa Timur.
Dalam setiap majlis ilmu yang beliau hadiri, selalu dipenuhi oleh para mustami’ dan thullabul ‘ilmi pada malam senin dan selasa. Kehadiran mereka tersebut hanya untuk hadir di roudhotul jannah atau majlis ilmu yang diampu oleh Buya Yahya. Namun beliau selalu meyakini bahwa keberhasilan tersebut tidak terlepas dari izin Allah SWT. Bahkan sikap hormat beliau kepada para masyaikh ketika masih berada di Yaman dahulu kini membuahkan hasil. Sebab atas izin Allah SWT, kini para mustami’ dan thullab menampakkna sikap hormat pada Buya Yahya.

Buya Yahya Mendirikan Pondok Pesantren

Dalam perjalanan dakwahnya, majelis Al-Bahjah yang dirintis oleh Buya Yahya akhirnya berkembang menjadi pesantren yang berdiri pada tahun 2008. Pesantren yang bernama Al-Bahjah tersebut didirikan di Kelurahan Sendang, Kecamatan Sumber, Cirebon. Berdirinya pesantren ini merupakan permintaan dari warga sekitar yang sangat ingin menitipkan anak-anaknya di pesantren. Setelah proses pembangunan selama kurang lebih 1,5 tahun akhirnya pesantren tersebut diresmikan tepatnya pada Januari 2010.


www.pexels.com

Pesantren Al-Bahjah sendiri mempunai beberapa kampus yaitu kampus utama yang terletak di Cirebon yang dibangun tahun 2008. Selain itu Al-Bahjah juga mempunyai banyak unit usaha diantarana mini market AB Mart, Radio_QU, Al-Bahjah TV, SDIQU Al Bahjah, SMPIQU Al Bahjah, SMAIQU Al Bahjah, dan lain-lain. Unit-unit usaha yang dimiliki oleh Al Bahjah tersebut rata-rata memang digerakkan oleh santri atau yang disebut dengan santri khusus. Tak hanya bergerak dalam bidang dakwah dan sosial, santri khusus tersebut juga ada yang bertugas di dapur umum.
Pesantren Al Bahjah memang begitu kental dengan nuansa Nahdliyin padahal sebetulnya pesantren ini bukanlah milik dari ormas Nahdatul Ulama. Uniknya, pesantren Al-Bahjah ini juga menerapkan peraturan bagi santrinya untuk wajib berbahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Tak perlu khawatir untuk santri baru karena akan diberikan waktu selama tiga bulan untuk berdaptasi dengan lingkungan pesantren.

Jaringan Pendukung Dakwah

Bila dibandingkan ustad pesantren lainnya, Buya Yahhya memang selangkah lebih modern. Hal tersebut bisa terlihat dari perubahan dakwah Buya Yahya dengan LPD Al-Bahjah yang semakin melebarkan sayap. Untuk itulah beliau menggunakan jaringan radio dan TV Al Bahjah dengan aktif menyiarkan ceramah maupun pengajiannya. Bahkan video-video pengajian dari Buya Yaha tersebut bisa dibuka melalui situs maupun Youtube. Seiring dengan semakin populernya Buya Yahya, dakwah beliau kini semakin merambah ke mancanegara. Selain itu, Buya Yahya juga pernah ikut berdakwah di media televisi nasional diantaranya TV One, TVRI, MNCTV dan tetap aktif mengisi acara dialog interaktif di Cirebon TV.

Diskusi Dengan Wahabi

Buya Yahya merupakan tokoh kultural Aswaja yang memang begitu gigi dalam membela faham Ahlusunnah yang telah digerakkan oleh sebagian besar umat muslim di Indonesia. Meskipun begitu ada saja faham dari aliran lain yang agresif serta bertabrakan dengan menyebarkan pahamnya dalam berbagai media. Untuk menghindari adanya perseteruan tersebut maka beberapa tokoh mengadakan diskusi dengan duduk bersama dengan mengedepankan pada dalil maupun landasan pemahaman masing-masing.


www.pexels.com

Untuk itulah Buya Yahya mengadakan diskusi terbuka dengan mengajak toko-tokoh salaf wahabi. Video tersebut kemudian diupload ke youtube dan tampak memperlihatkan kealiman dan kearifan Buya Yahya dalam berdiskusi maupun berdebat. Hal tersebut bisa terlihat dari diskusi yang dilakukan dengan Profesor Salim Bajri dan Ustad Ahmad Thoharoh. Dimana perbincangan mereka tersebut ditayangkan di TV lokal Cirebon.

Respon Pada Gosip Kontroversial

Buya Yahya merupakan sosok yang banyak dijadikan referensi oleh umat muslim. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Buya Yahya juga pernah dihadapkan pada pertanyaan dari jamaah yang berkaitan dengan gosip agama yang sedang berkembang. Dalam beberapa permasalahan, beliau juga menentang statemen kontroversial yang disampaikan oleh sesama ustad. Dari beberapa gosip kontroversial yang pernah ia tanggapi yaitu yang diucapkan oleh K.H Said Aqil Siradj yang berhubungan dengan jenggot. Ungkapan dari K.H Said memang kerap dipelintir dan disalahpahami oleh orang lain. Namun hal tersebut disikapi keras oleh Buya Yahya.
Selain itu Buya Yahya juga pernah menyikapi pernyataan dari Prof. Quraish Shihab yang berkaitan dengan jaminan surga untuk Nabi Muhammad SAW. Dari beberapa gosip yang bermunculan tersebut intinya beberapa ustad tersebut sama-sama memperjuangkan eksistensi Aswaja yang tidak sama-sama menyalahkan. Hanya saja terkadang ungkapan yang multitafsir dan sepintas bisa diartikan berbeda oleh oranglain. Hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh oranglain yang tak bertanggungjawab untuk mengadu pendapat dan sanggahan antar ustad. Tetapi fenomena sama-sama sanggahan lewat video tersebut tidak ada tindak lanjut tanpa adanya pertemuan langsung dari pihak-pihak yang saling berkaitan. Hal tersebut menjadi senjata bagi pihak tertentu untuk semakin menjatuhkan wibawa dan citra ustad.
Itulah tadi penjelasan mengenai biografi Buya Yahya yang bisa menjadi referensi bagi anda yang ingin tahu lebih jauh mengenai sosok Buya Yahya. Melalui informasi di atas kini anda bisa mengetahui perjalanan dakwah Buya Yahya sejak beliau lahir, bersekolah, menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi hingga akhirnya berdakwah di Cirebon. Dari masing-masing perjalanan kehidupan tersebut banyak nilai-nilai positif yang bisa menjadi teladan bagi umat muslim agar tetap gigih dalam meraih keinginan dan cita-cita. Mungkin sekian penjelasan tentang profil Buya yahya

Penulis
Riffal Nur kharim

PONDOK PESANTREN PATWA

               PONDOK PESANTREN PATWA



  1. Salah satu pondok pesantren yang akan peneliti kaji pada kali ini adalah Pondok Pesantren Attarbiyatul Wathoniyah (PATWA) Mertapada. Pondok Pesantren Attarbiyatul Wathoniyah (PATWA) Mertapada ini didirikan oleh Syaikhina KH. Ahmad Syathori, atas amanah dari guru-guru beliau seperti KH. Abbas, KH. Anas, KH. Akyas, dan para Kyai sepuh Buntet lainya. Bertujuan supaya dapat mengembangkan dan memajukan pendidikan Islam di samping kondisi dan keadaan masyarakat yang memang memerlukan pendidikan.
Pondok pesantren ini memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan pondok pesantren-pondok pesantren lainnya dari segi tradisi pembelajaran. Di pondok PATWA ini pada tahap Ibtida’ diajarkan kitab-kitab dan Nadzoman karya Kyai pendiri pondok pesantren tersebut yang berisikan simpulan serta ringkasan isi dari kitab-kitab yang rinci pembahasannya. Dari mulai ilmu alat (NahwuSorof), fiqih, tauhid, Bahasa Arab dan sebagainya. Setidaknya ada dua jenis bahasa yang terdapat dalam karangan-karangan almarhum pendiri pondok PATWA (KH. Ahmad Syathori dan KH. Moh. Burhanuddin Hafidz), yaitu bahasa Cirebon (Bebasan dan Jawa) dan bahasa Arab. Diantaranya adalah kitab Fiqh Muji Kaula yang berisikan makna dari kitabSafinatunnajah. Kitab Walyuhsinin yang berisikan Nadzoman Tauhid dan lain-lain,
Adapun tradisi lainnya yang sudah menjadi tradisi rutinitas tiap tahunnya adalah Hataman dan ImtihanHatamanbiasanya diadakan pada bulan Rajab, dari mulai Juz ‘Amma, Qiroah Hafs, Qiroah Warsydan Qiroah Ibnu Katsir. Sedangkan kalauImtihan diadakan dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. Konsepnya memaparkan karya-karya keilmuan dari pendiri PATWA, pembacaan Nadzom Imritidan ulasan tentang Ushul Fiqh.

Oleh karena itu, penelitian ini akan lebih mengarah kepada Historisitas Tradisi yang pada kali ini dikhususkan di lingkungan pondok Pesantren Attarbiyatul Wathoniyah Mertapada-Cirebon. Terutama kajian pada tradisi keilmuan yang menjadi salah satu elemen penting dalam tradisi pesantren.

Penulis: Akhmad Haris
@ahariz10_

SEJARAH BUNTET PESANTREN

              SEJARAH BUNTET PESANTREN
   Pondok Buntet Pesantren, yang berada di wilayah Timur Cirebon, didirkan oleh Mbah Muqoyyim 1750. Pendirian Pesantren ini merupakan sebuah bentuk kekecewaan Muqoyyim yang sebelumnya menjabat sebagai penghulu di Keraton Kanoman Cirebon. Karena keberpihakan pihak keraton terhadap kolonial Belanda, Muqoyyim akhirnya memilih untuk keluar dari keraton dan mendirikan pesantren Buntet.
   Mbah Muqoyyim memiliki hubungan yang sangat dekat dengan keraton. Jika merunut kebelakang, Ayah dari Muqoyyim yaitu Abdul Hadi, merupakan putra dari pasangan Pangeran Cirebon dan Anjasmoro, putri dari Lebe Mangku Warbita Mangkunegara. Abdul Hadi tinggal di keraton dan mendapatkan pendidikan ketatanegaraan dan juga pelajaran Islam.
   Mbah Muqoyyim juga sempat tinggal di keraton. Hidup bersama kedua orang tuanya, Muqoyyim mendapatkan pendidikan yang cukup baik dari guru maupun orang tuanya. Bukan hanya pendidikan agama Islam dan ketatanegaraan saja, melainkan ilmu kedigdayaan juga dia pelajari. Melalui proses itulah, selain memiliki kemampuan dalam segi ilmu pengetahuan, Muqoyyim juga dikenal dengan Kiai sakti mandraguna.
   Perpisahan Muqoyyim dengan keraton berawal saat adanya upaya Devide et impera (Politik Memecah Belah) yang dilakukan oleh Belanda kepada Keraton Kanoman.
  Selain itu, Kekecewaan Mbah Muqoyim menjadi cukup memuncak setelah melihat bangsawan keraton terjebak dalam aturan Belanda. Banyak diantara mereka malah berprilaku bertentangan dengan syariat Islam dan malah meniru hal.-hal. jelek yang dilakukan oleh bangsa Belanda, seperti dansa dan mabuk-mabukan
   Mbah Muqoyyim awalnya mendirikan Pesantren Buntet di kampung Kedung Malang Desa Buntet Kecamatan Astanajapura Cirebon. Beliau membangun rumah yang sangat sederhana dan juga langgar (Musholla) dan beberapa kamar santri. Saat beliau memberikan pengajian, ternyata banyak menarik masyarakat untuk bergabung belajar mengaji kepada beliau.
   Belanda yang mengetahui kegiatan dan keberadaan Muqoyyim, langsung melakukan serangan dan percobaan penangkapan. Karena informasi tersebut sudah bocor, Mbah Muqoyyim akhirnya bisa menyelamatkan diri bersama sahabat dekatnya yaitu Kiai Ardi Sela menuju Desa Pesawahan Sindanglaut yang letaknya ± 10 Km dari Pesantren Buntet. Namun, pesantren yang sudah didirikannya hancur dibombardir oleh belanda. Peristiwa inilah yang menjadikan Mbah Muqoyyim sempat berpetualang ke wilayah pemalang dan akhirnya kembali ke Cirebon untuk membangun lagi pesantren Buntet di wilayah yang berbeda, yaitu di Blok Manis, Depok Pesantren Desa Mertapada Kulon.
Penulis:Taufik_Rian_Rizki.